Mengenali Antibodi, si Faktor Protektif
Kita pasti sudah tidak asing dengan istilah antibodi. Ditemukan pertama kali oleh Emil von Behring dan Shibasaburo Kitasato pada tahun 1890, antibodi dikenal sebagai faktor protektif fisiologis yang menjaga spesies (manusia dan hewan) dari serangan virus, bakteri, dan benda asing berbahaya yang masuk dalam tubuh. Antibodi merupakan protein yang berasal dari elemen darah putih (leukosit), tepatnya B lymphocytes (atau B cell) yang merupakan sistem imunitas fisik.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Brodin dkk (2015) menunjukkan bahwa antibodi manusia ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti misalnya: nutrisi, kebiasaan berolahraga, pola istirahat, dan gaya hidup lainnya. Riset ini dilakukan terhadap pasangan anak kembar identik yang berasal dari sel telur yang sama. Namun demikian, karena kebiasaan hidup yang berbeda di antara keduanya, maka masing-masing memiliki tingkat imunitas yang berbeda satu sama lain.
Jika manusia memiliki sistem imunitas fisiologis, lantas bagaimana dengan psikologis manusia? Apakah manusia memiliki sistem imunitas psikologis yang memiliki fungsi serupa dengan sistem imunitas fisiologis, yang mampu menjaga manusia dari dampak buruk psikologis?
Meskipun studi terkait sistem imunitas psikologis masih jarang, namun beberapa literatur ilmiah telah menunjukkan keberadaan sistem ini. Dr. Herman Kagan, seorang psikolog klinis dari California, mengemukakan konsep tentang Psychological Immunity System (Psy-IS). Menurutnya, sistem ini sama halnya dengan sistem imunitas fisiologis manusia memiliki fungsi protektif untuk memastikan manusia dapat mencapai tingkat kesejahteraan (well-being) dan konsep diri (self-identity) yang baik.
Psy-IS mengandalkan aspek emosional yang alami dari sistem limbik dalam otak manusia untuk mendeteksi potensi bahaya psikologis, sehingga menggerakkan respon primitif, yaitu fight (melawan) or flight (menghindar). Seperti halnya antibodi dalam sistem imunitas fisiologis manusia yang berfungsi mengidentifikasi benda asing dan berbahaya masuk dalam tubuh, emosi dalam Psy-IS pun bisa mendeteksi potensi bahaya psikologis dan menggerakkan respon primitif.
Namun demikian, konsep Psy-IS dalam perjalanannya dikritisi oleh beberapa penelitian terbaru. Dr. Daniel Gilbert, pakar psikolog sosial dari Harvard University menunjukkan bahwa keterbatasan kemampuan berpikir manusia menyebabkan kesalahan estimasi kejadian di masa yang akan datang. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitiannya yang menunjukkan bahwa manusia terlalu melebih-lebihkan dampak negatif suatu kejadian. Hal ini bisa berakibat pada residu emosi negatif yang berkepanjangan, misalnya ruminasi. Ruminasi adalah fenomena untuk selalu memikirkan kejadian negatif, tidak bisa lepas dari pusaran emosi negatif. Ruminasi adalah gejala umum yang dialami oleh orang yang mengalami depresi dan trauma.
Psychological Immunity System menggerakkan respon protektif primitif (fight or flight) secara emosional melalui sistem limbik otak manusia.
Lebih lanjut lagi Dr. Gilbert menjelaskan bahwa emosi negatif yang berlebihan sebenarnya adalah mekanisme natural manusia untuk menjaga dirinya terhadap dampak psikologis yang lebih fatal. Manusia cenderung mengembangkan skenario terburuk (worst case scenario) untuk menyiapkan diri terhadap kemungkinan buruk yang terjadi di masa yang akan datang. Celakanya, beberapa orang tidak bisa begitu saja bangkit dari kejadian hipotetik yang diciptakannya sendiri, dan malah tersesat dalam pusaran emosi negatif yang diciptakannya sendiri. Orang-orang yang memiliki pribadi sehat adalah mereka yang bisa segera melepaskan diri dari skenario terburuk tersebut dan kembali membangun optimisme secara positif.
Meskipun menimbulkan pro-kontra di antara para ahli, konsep Psy-IS setidaknya menawarkan wacana bahwa sistem imunitas psikologi itu ada. Namun alih-alih memiliki karakteristik natural, sistem imunitas tersebut mungkin bisa berkembang dengan proses belajar dan pengalaman. Sama halnya dengan sistem imunitas fisiologis, sistem imunitas psikologis pun bisa berkembang karena pengaruh lingkungan
Dikarenakan Psy-IS hanya mendeskripsikan struktur imunitas psikologis dari elemen emosional dan fisiologis saja, maka tidak bisa menjelaskan efek residual emosi negatif yang alih-alih bisa mendorong well-being yang baik, malah bisa menyebabkan terjadinya overthinking. Oleh karenanya dibutuhkan framework yang lebih komprehensif dalam memahami fenomena ini.
Mindset: Elemen Tambahan dalam Sistem Imunitas Psikologi
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Galang Lufityanto bersama Gian Seloni menunjukkan bahwa pengalaman emosional tidak menyenangkan dapat berlarut-larut jika tanpa disertai pemahaman yang tepat tentang kondisi yang dihadapi. Penelitian yang diterbitkan di Journal of International Entrepreneurship itu menunjukkan subjek entrepreneur yang meskipun telah mengalami kekalahan dalam suatu tugas eksperimental di setting laboratorium, tetap melanjutkan strategi yang sama untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Kecenderungan pengambilan resiko yang tinggi pada subjek entrepreneur ini yang menyebabkan kekalahan yang besar di akhir tugas tersebut. Berbeda dengan subjek non-entrepreneur yang menjadi subjek dalam penelitian ini. Dikarenakan memiliki mindset yang tepat, maka bisa melepaskan diri dari jebakan tugas ini dan mengumpulkan keuntungan di akhir tugas.
Kehadiran mindset dalam framework sistem imunitas psikologis menjadi elemen yang penting. Terlebih lagi penelitian-penelitian yang mengkaji resiliensi, sebagai suatu mekanisme bertahan dan bangkit kembali dari situasi yang tidak menyenangkan, banyak berkutat di area kognitif atau mindset. Bersama dengan fisiologis dan emosional, dimensi mindset menjadi penyeimbang dalam menciptakan sistem imunitas psikologis. Hal ini akan menjawab keresahan para peneliti terkait elemen yang kurang dalam konsep Psy-IS, yaitu mindset.
Spritualitas : Tujuan yang Menggerakkan
Dibutuhkan framework yang lebih komprehensif dalam memahami sistem imunitas psikologis. Fisiologis dan emosi saja belum cukup. Mindset yang tepat diperlukan
Sebuah perjalanan panjang membutuhkan bekal yang cukup dan motivasi yang kuat. Banyak hal bisa terjadi, kita bisa saja melenceng dari jalur jika tidak memiliki pegangan yang kuat. Sama halnya dengan membangun imunitas psikologis. Sumber daya yang kita keluarkan: tenaga, waktu, pikiran, perasaan, bisa saja membuat kita kelelahan dan lantas berpikir untuk berhenti di tengah jalan. Keyakinan kita yang saat itu kuat mendadak goyah ketika dalam perjalanan kita menjumpai banyak kerikil terjal. Lumrah pada saat itu kita akan mulai bertanya kepada diri sendiri: mengapa saya susah payah melakukan ini-itu?
Tujuan yang kuat diperlukan untuk memastikan proses panjang tidak berhenti begitu saja di tengah jalan. Kita bisa berkaca pada Martin Luther King Jr., yang memiliki visi besar untuk memerangi diskriminasi dan memperjuangkan kesetaraan hak antar ras di Amerika pada tahun 1960-an. Pidatonya yang berjudul "I Have a Dream" yang dihantarkan pada tanggal 28 Agustus 1963 di Lincoln Memorial in Washington, D.C., di depan lebih dari 250.000 masyarakat Amerika merupakan salah satu pidato yang diingat dalam sejarah Amerika Serikat. Dalam segmen pidatonya, King Jr. menyatakan sebuah kalimat fenomenal yang menggerakkan hati semua orang yang hadir dan yang mendengarkan:
"I have a dream that my four little children will one day live in a nation where they will not be judged by the color of their skin but by the content of their character." (Martin Luther King Jr.)
Pidato tersebut menjadi awal dari pergerakan untuk perjuangan ras kulit hitam di Amerika. Semua orang bergerak bersama untuk sebuah tujuan yang besar.
Darimana kita mendapatkan tujuan yang besar, yang tidak selalu harus bisa menggerakkan massa namun paling tidak cukup untuk menjadi bekal perjalanan panjang yang kita rintis? Banyak penelitian yang telah menunjukkan bahwa spiritualitas dapat menciptakan tujuan yang kuat. Salah satunya adalah penelitian de Klerk (2005) yang membuktikan tingkat spiritualitas yang tinggi dapat mendorong individu untuk menciptakan kebermaknaan hidup, yang akhirnya akan mendorong pada tujuan untuk bekerja yang kuat dan well-being yang meningkat.
Banyak definisi tentang spiritualitas. Namun para ahli sepakat bahwa spiritualitas dimaknai secara umum sebagai sebuah keterikatan individu dengan suatu hal yang lebih besar (higher power) daripada dirinya sendiri. Salah satu bentuk spiritualitas adalah religiusitas, yang biasanya memiliki afiliasi dengan agama dan keyakinan tertentu. Spiritualitas yang baik setidaknya memiliki tiga elemen, yaitu: (i) keterhubungan dengan sesuatu yang lebih besar (higher power), (ii) transendental, (ii) menciptakan kebermaknaan diri dan pencapaian tujuan yang mulia, dan (iv) menciptakan kedamaian (inner peace).
Spiritualitas menciptakan tujuan yang kuat untuk memastikan individu konsisten dalam menjalankan proses perbaikan.
Mental Antibody : Sistem Imunitas Psikologi yang Holistik
Dimensi spiritualitas bisa jadi kepingan teka-teki terakhir bagi pencarian sistem imunitas psikologis, setelah literatur ilmiah secara langsung maupun tidak langsung menunjukkan keberadaan dimensi fisiologis, emosional, dan kognitif (mindset) sebagai landasan bagi sistem kekebalan yang baru. Sebuah pendekatan holistik yang akhirnya akan kami coba untuk selalu kembangkan, teliti, pelajari, dan terapkan dalam kehidupan berorganisasi.
Kami menamainya Mental Antibody, sebuah sistem imunitas psikologis yang holistik dan mencakup beberapa dimensi: (i) fisiologis, (ii) emosional, (iii) kognitif, dan (iv) spiritual. Seperti halnya antibodi fisiologis yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap bakteri dan virus, Mental Antibody pun seharusnya bisa berfungsi sebagai mekanisme pertahanan individu terhadap dampak psikologis negatif dari peristiwa-peristiwa yang terjadi. Baik itu stress di tempat kerja, burn-out, perasaan terisolasi secara sosial, dan kecemasan sebagai dampak dari perubahan yang masif di organisasi -seharusnya tidak akan banyak berpengaruh jika individu memiliki Mental Antibody yang baik. (GL)
Mental Antibody terdiri dari elemen: fisiologis, emosional, kognitif, dan spiritual
REFERENCES: